Oleh: Muhd Nur Sangadji – Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Untad

PAGI ITU, sekitar pukul 9.00, saya sudah berada di ruangan. Suhu ruangan hotel yang nyaman dan sejuk terasa stabil, sebagaimana mestinya. Namun, saat jarum jam mendekati angka 12.00 siang, saya mulai merasa kedinginan. Saya terdiam sejenak dan bertanya kepada para peserta, penguji, dan konsultan penyusun AMDAL yang hadir di ruangan. “Apa yang bisa kalian jelaskan, tentang dingin yang saya rasakan ini?”

Saya mulai memikirkan tiga istilah lingkungan, yang mungkin dapat menjelaskan situasi ini: akumulasi, adaptasi, dan daya dukung serta daya tampung. Pertama, apakah dingin ini merupakan hasil dari akumulasi?  Seperti halnya udara panas, yang terperangkap dalam fenomena pemanasan global, apakah udara dingin ini, juga terperangkap dalam dinding dan plafon gedung? Bagi mereka yang ahli fisika, mungkin penjelasan ini terasa lebih masuk akal.

Kedua, jika konsep adaptasi yang digunakan, maka seharusnya semakin lama saya justru terbiasa dengan suhu dingin ini. Tubuh saya seharusnya beradaptasi, atau kehadiran peserta lainnya —yang menghasilkan karbon dari pernapasan mereka — akan membantu menghangatkan ruangan. Tapi ternyata, sensasi dingin masih tetap terasa, seakan tubuh saya belum sepenuhnya menyesuaikan diri.

Ketiga, mungkin yang paling relevan adalah daya dukung dan daya tampung. Ruangan ini terus menerus dipompa udara dingin oleh sistem pendingin. Sejauh mana tubuh saya mampu menahan, atau “menyerap” dingin tersebut sebelum akhirnya menyerah? Di sini, peran daya dukung dan daya tampung menjadi jelas, baik bagi ruangan ini maupun tubuh saya dalam menghadapi suhu yang ekstrem.

***

Itu hanyalah sebuah ilustrasi kecil, yang mungkin bisa memberikan gambaran tentang dinamika lingkungan yang kita hadapi setiap hari. Namun, kali ini kita akan membahas sesuatu yang lebih besar — proyek pengolahan sirtu di Sungai Ulobongka, Kabupaten Tojo Una-Una. Sungai ini memiliki riwayat panjang dan kompleks dalam hal masalah lingkungan. Sampai hari ini, berbagai masalah yang terkait dengannya belum sepenuhnya teratasi.

Pertama, debit air sungai yang tidak stabil — kadang sangat tinggi, kadang sangat rendah —melintasi lebaran sungai yang mencapai lebih dari dua ratus meter. Kedua, hulu sungai sering kali mengirimkan volume air yang tidak dapat diprediksi, menciptakan banjir yang ganas dan tak terkendali. Ketiga, banjir ini tidak hanya membawa air, tetapi juga membentuk anak-anak sungai baru dengan resiko tinggi, menyapu bersih infrastruktur seperti jembatan dan jalan yang berada di bawahnya.

Dalam konteks ini, pengambilan material sirtu dari sungai tampaknya memiliki dua sisi manfaat. Pertama, secara ekonomi, pengolahan sirtu dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Kedua, dari sudut pandang lingkungan, ini membantu mengatur morfologi sungai secara alami, mengurangi risiko banjir. Daripada harus membongkar gunung untuk mengambil material, mengapa tidak memanfaatkan sedimentasi sungai yang sudah tersedia? Inilah solusi ganda yang bisa kita acungi jempol.

Namun, di sinilah peran penting AMDAL, yang harus memastikan bahwa kegiatan pengolahan sirtu ini, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Lebih dari itu, AMDAL juga harus menganalisis dampak lingkungan terhadap proyek tersebut. Bagaimana proyek ini dapat bertahan dalam kondisi yang berubah-ubah? Bagaimana perusahaan pengolah sirtu dapat memastikan operasional mereka tetap berjalan, meski ada gangguan dari alam?

Salah satu aspek penting yang terungkap dari kajian AMDAL ini, adalah bahwa kawasan laut di sekitar proyek, merupakan habitat penting bagi ikan nike (atau ikan duo), yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Ini adalah rona awal — kondisi lingkungan sebelum proyek dimulai. AMDAL harus mampu memastikan bahwa dampak fisik, kimia, biologi, sosial, dan kesehatan masyarakat, tidak mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Inilah peran utama AMDAL—sebuah studi yang mengidentifikasi, memitigasi, dan memberikan solusi terhadap dampak besar dan penting yang mungkin timbul dari suatu proyek. Jika dampak tersebut dianggap signifikan, maka langkah-langkah mitigasi harus dirancang dengan cermat dalam RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan). Namun, tak kalah pentingnya adalah, pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan, untuk memastikan bahwa dampak tersebut benar-benar terkendali.

Sayangnya, aspek pemantauan dan evaluasi ini sering kali terabaikan, dianggap sepele, atau bahkan dilupakan. Jika seluruh tahapan ini tidak dilakukan dengan baik, maka AMDAL hanya akan menjadi formalitas belaka— Ataukah, seperti yang sering dikhawatirkan, semua ini hanya menjadi sekadar ritual administratif tanpa dampak nyata bagi lingkungan. Tapi, mari kita berharap, jangan sampai itu terjadi. (*)

Editor: Ruslan Sangadji