INI TENTANG SEUNTAI DOA NENEK MARIAMA – Pagi itu, Rabu, 18 September 2024, embun masih setia menyapa, namun langkah Ahmad Ali sudah mantap memasuki Pasar Salakan di Kecamatan Tinangkung, Banggai Kepulauan.

Sosoknya, yang kini berbalut gelar calon gubernur Sulawesi Tengah, tak menunjukkan kemewahan, melainkan lebih seperti seorang sahabat lama yang datang berkunjung ke rumah kenalan.

Langkahnya ringan, wajahnya tersenyum, menyapa dan menyalami setiap pedagang yang dilalui. Di Pasar Salakan, ia bukan sekadar pemimpin yang mencalonkan diri, tapi adalah Ahmad Ali yang sederhana, yang hadir untuk mendengar denyut ekonomi rakyatnya.

Pasar Salakan, seperti pasar-pasar tradisional lainnya, berdenyut hidup di antara lapak-lapak kecil. Udara bercampur aroma bumbu dapur, sayuran segar, dan keringat pedagang yang sabar menawarkan dagangan mereka.

Di sini, ekonomi tak digerakkan oleh angka-angka besar di layar komputer, melainkan lewat interaksi sederhana antara pembeli dan penjual. Ahmad Ali paham benar, pasar seperti ini adalah cermin perekonomian masyarakat sesungguhnya.

“Saya jarang ke mal atau melakukan kunjungan formal,” katanya sambil melangkah perlahan, matanya menyapu lapak-lapak di sekitarnya.

“Kalau kita ingin tahu keadaan ekonomi masyarakat, jangan tanya pejabat. Lihatlah pasarnya.” Kata-kata itu keluar dengan tenang, seolah bukan ungkapan politisi, melainkan dari seorang yang telah lama mengamati.

Langkah Ahmad Ali kemudian terhenti sejenak. Seorang perempuan tua mendekat, perlahan, namun dengan semangat yang tak bisa disembunyikan.

Nenek Mariama, 75 tahun, tiba-tiba merangkulnya erat. Pelukan itu, bukan sekadar pelukan seorang pengagum kepada sosok pemimpin, tapi seperti pelukan seorang ibu yang merindukan anaknya. Air matanya menetes, matanya penuh harapan.

“Kita so rindu sekali dengan Pak Ahmad Ali,” katanya, suaranya bergetar.

“Saya selalu doakan supaya jadi gubernur. Waktu jadi Anggota DPR, kita coblos. Nanti kita mau coblos lagi. Bapak ini orang baik, kasian. Semoga jadi gubernur,” ucapannya mengandung doa yang dalam, harapan rakyat kecil, yang ingin melihat sosok yang mereka percaya bisa membawa perubahan nyata.

Ahmad Ali terdiam sejenak, meresapi pelukan hangat itu. Wajahnya tersenyum lembut, namun dalam hatinya, ia tahu, tanggung jawab besar tengah dipikulkan di bahunya.

Lalu, ia kembali melangkah. Tangannya mengambil beberapa jajanan tradisional yang ditawarkan pedagang. Tak ada basa-basi, ia langsung mencicipi. Rasanya mungkin sederhana, namun baginya, lebih dari sekadar makanan, itu adalah rasa dari kebersamaan, dari kehidupan masyarakat yang setiap harinya berjuang dengan dagangan mereka.

Di Pasar Salakan, tidak ada diskusi formal, tidak ada pidato panjang lebar. Hanya percakapan kecil, tawa ringan, dan interaksi yang tulus.

Ahmad Ali paham, setiap sapaan dan jabatan tangan adalah cerminan dari harapan masyarakat akan pemimpin yang memahami mereka bukan dari ketinggian kantor pemerintahan, tapi dari tanah yang sama mereka pijak.

Dalam setiap pasar yang ia kunjungi, Ahmad Ali tidak hanya membeli dagangan, tapi seolah menyerap setiap cerita di baliknya. Bagi dia, pasar adalah nadi yang menunjukkan kesehatan ekonomi suatu daerah.

Jika ramai, interaksi lancar, uang berputar. Namun jika sepi, ia tahu, ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan ekonomi di sana.

Hari itu, di antara keramaian Pasar Salakan, Ahmad Ali tak sekadar menjadi calon gubernur. Ia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, merasakan denyut ekonomi yang sesungguhnya, menyapa tangan-tangan yang keras bekerja setiap hari.

Setiap pelukan, senyuman, dan doa yang ia terima, seolah menjadi bahan bakar bagi langkahnya menuju masa depan yang lebih baik bagi Sulawesi Tengah.

Dan di antara lapak-lapak sederhana itu, Ahmad Ali meninggalkan jejak, bukan hanya sebagai seorang politisi, tapi sebagai sahabat yang datang menyapa dan mendengarkan. (*)

Ruslan Sangadji