Oleh: Muhd Nur Sangadji

SALAH SATU peristiwa yang paling menyita perhatian Indonesia saat ini, adalah pertandingan sepak bola PON XXI yang mempertemukan tim Sulawesi Tengah dan Aceh.

Bukan hanya karena kualitas permainan sepak bolanya, atau bahkan insiden pemukulan wasit oleh pemain. Hal-hal seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia. Yang membuatnya menarik adalah, karena kejadian ini berlangsung di tengah krisis kepercayaan yang melanda masyarakat kita saat ini.

Masyarakat, terutama para netizen, marah bukan hanya karena insiden pemukulan, tetapi karena mereka merasa sudah terlalu sering dikecewakan oleh kepemimpinan yang tidak jujur, tidak amanah, dan tidak adil.

Dari ribuan komentar yang muncul, hampir semuanya membenarkan tindakan pemain yang memukul wasit. Hanya segelintir yang membela wasit sebagai tindakan khilaf, tetapi komentar-komentar lain justru menimpali bahwa pelaku pemukulan pun manusia, juga bisa khilaf. Maka, khilaf bertemu khilaf, dan hasilnya adalah permakluman.

Ada satu komentar yang menarik: “Saya sesali tindakan pemain Sulteng tersebut. Mengapa dia hanya memukul sekali?” Ternyata, yang menulis lebih murka.


Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Pemilu? Jawabannya sederhana: keduanya sama-sama kompetisi. Baik sepak bola maupun Pemilu melibatkan penyelenggara, pemain, dan wasit, meski dalam konteks yang berbeda. Kedua ajang ini membutuhkan fair play, kejujuran, keadilan, kepercayaan, dan tentunya partisipasi.

Saya teringat beberapa tahun lalu, KPU Sulawesi Tengah mengadakan refleksi akhir tahun dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD), dengan tema evaluasi partisipasi pemilu. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, “Apa pentingnya partisipasi?” Tentu saja, partisipasi penting karena menggambarkan keterlibatan rakyat.

Coba bayangkan jika pada hari pencoblosan, tidak ada satu pun orang yang datang ke TPS. Apa yang akan terjadi dengan negara kita? Bayangkan juga, jika tidak ada satu pun tim yang datang ke PON XXI di Aceh, karena tidak percaya bahwa even itu berlangsung dengan baik.

Oleh karena itu, kesuksesan sebuah Pemilu sering diukur dari seberapa banyak rakyat yang terlibat. Idealnya, angka partisipasi mencapai 100 persen, meski biasanya 80 hingga 90 persen sudah dianggap sangat baik. Hampir tidak ada negara yang mencapai angka partisipasi mendekati 100 persen.


Pertanyaannya, apa yang mendorong orang untuk berpartisipasi? Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari persoalan teknis administrasi hingga kesibukan aktivitas ekonomi. Namun, pada intinya, semuanya bermuara pada satu hal: rasa percaya. Menurut saya, rasa percaya inilah yang membuat orang tergerak untuk datang dan memilih. Kepercayaan ini sejalan dengan rasa tanggung jawab dan cinta tanah air.

Jika ada rakyat yang merasa datang ke TPS, tidak akan berdampak pada kehidupan ekonominya, itu artinya mereka tidak percaya bahwa pemimpin yang terpilih akan membawa perubahan. Dalam pandangan mereka, kebijakan pemimpin tidak ada pengaruhnya bagi kesejahteraan hidup mereka.

Padahal, untuk datang ke TPS dan mencoblos hanya butuh waktu 5 hingga 10 menit. Bandingkan dengan waktu lima tahun yang dibutuhkan untuk setiap periode pemilu, yang setara dengan 518.400 menit.

Mengorbankan waktu 5 menit dari 518.400 menit, hanya 0,0001 persen dari waktu tersebut. Kenapa tidak rela berkorban untuk hal sekecil itu demi negara? Bandingkan dengan mereka, yang dulu rela mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa ini. Di mana nasionalisme kita?

Mungkin persoalannya bukan sekadar soal nasionalisme. Ini soal kepercayaan. Kepercayaan kepada penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, pemerintah, dan negara. Di sepak bola, kepercayaan ini tertuju pada panitia penyelenggara, inspektur pertandingan, hakim garis, dan wasit. Semua pihak ini harus tulus, amanah, dan profesional.

Jika tidak, kita hanya akan terus bergerak dari satu kebodohan ke kebodohan berikutnya, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya tanpa perubahan. Jangan sampai itu terjadi. (*)

Editor: Ruslan Sangadji