DI SEBUAH SUDUT KAMPUNG, puluhan tahun silam, seorang bocah kecil bangun pagi dengan kening dan lobang hidung yang menghitam karena asap lampu pelita. Rumahnya gelap, sekolahnya pun tak punya penerangan. Bocah itu adalah Bahlil Lahadalia.

Namun dari kegelapan itulah, Bahlil Lahadalia tumbuh, dan hari ini, ia berdiri sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), membawa misi untuk memastikan setiap desa di Indonesia bisa menikmati terang listrik.

“Saya adalah anak republik yang lahir tanpa listrik,” kenangnya saat berbincang dalam kunjungan kerja ke wilayah timur Indonesia. “Saya tumbuh dengan lampu pelita. Sekolah dasar saya pun tanpa listrik. Ketika bangun pagi, kening saya sering hitam karena asap pelita.”

Bagi sebagian orang, listrik adalah sesuatu yang taken for granted. Namun bagi Bahlil, listrik adalah simbol harapan. Bukan hanya karena ia mengalaminya sebagai kemewahan yang tak pernah hadir di masa kecilnya, tetapi karena ia tahu bagaimana gelap bisa membatasi mimpi.

Kini, sebagai pemegang mandat di Kementerian ESDM, Bahlil bertekad membalikkan kenyataan itu. Program Listrik Desa (Lisdes) menjadi salah satu prioritas yang ia kawal dengan penuh semangat. Tidak hanya sebagai tugas negara, tapi sebagai penebusan atas masa lalu yang ia rasakan sendiri.

“Saya tidak ingin ada lagi anak-anak yang merasakan seperti saya dulu. Tanpa penerangan, tanpa kesempatan untuk belajar dengan layak. Maka, sesuai arahan Bapak Presiden Prabowo, semua desa yang belum berlistrik akan segera kita pasang jaringan. Targetnya selesai pada 2029, dan kita lakukan bertahap,” tegasnya.

Data Kementerian ESDM menunjukkan, hingga akhir 2024, sudah lebih dari 83 ribu desa dan kelurahan di Indonesia menikmati akses listrik. Namun masih ada sejumlah titik yang gelap, terutama di wilayah terluar dan terpencil. Di sanalah Bahlil ingin menyalakan lilin-lilin terakhir pembangunan.

Sebagai bentuk konkret, pemerintah juga telah menyalurkan lebih dari 367 ribu sambungan Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) sejak 2022 hingga 2024 bagi keluarga tidak mampu. Upaya ini menyasar rumah-rumah tangga yang selama ini terpinggirkan dari jaringan listrik negara.

“Energi adalah hak dasar rakyat. Pemerataan listrik bukan hanya soal kabel dan tiang, ini soal keadilan sosial,” ujarnya.

Yang menarik, di tengah tanggung jawab besar di kementerian, Bahlil tetap membawa semangat khas kampung. Cara bicaranya lugas, kadang diselingi guyonan khas timur, namun tak menyembunyikan ketegasan sikap. Ia tak segan menagih janji mitra kerja, mendorong percepatan, bahkan mengundang investor swasta untuk ikut terlibat.

“Ini peluang investasi. Melistriki desa bukan cuma soal tanggung jawab negara, tapi juga peluang untuk berkontribusi secara nyata,” katanya.

Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, posisi Bahlil di panggung nasional kian kuat. Tapi bagi dirinya, listrik tetap soal personal. Soal nyala lampu yang dulu tak pernah ada di masa kecilnya, dan kini ia ingin hadirkan di seluruh penjuru negeri.

Dari anak kecil yang tumbuh di bawah cahaya pelita, kini Bahlil Lahadalia memimpin langkah menuju Indonesia yang lebih terang. (*)

(Ruslan Sangadji)