Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa liilahil hamd

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Besar lagi Maha Agung, atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga kita dapat melaksanakan shalat Idul Adha pagi hari ini. 

Shalawat serta salam, kita haturkan keharibaan junjungan kita Nabiullah Almusthafa Baginda Rasulullah Muhammad SAW, seorang manusia mulia dan nabi terakhir yang dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi teladan (uswah) bagi seluruh umat manusia sepanjang masa. 

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Wa lillahil Hamd.

Kaum muslimin jama’ah Idil Adha yang dirahmati Allah.

Pada pagi hari ini, kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji sebagai tamu Allah SWT, dhuyufurrahman, telah selesai berkumpul melaksanakan wuquf di ‘Arafah dan sedang berada di Mina untuk melaksanakan Jumratul ‘Aqabah. Mereka dengan pakaian ihramnya, berasal dari berbagai belahan dunia. Mereka datang dengan latar belakang bangsa, ras, warna kulit, budaya dan strata sosial yang berbeda satu sama lain. Namun mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu memenuhi panggilan Allah SWT untuk menjadi tamu-Nya dan bertauhid mengesakan Allah SWT semata. 

Bagi kita  yang belum memiliki kemampuan menjadi tamu Allah SWT di Tanah Suci, kita melaksanakan shalat Idul Adha dan ibadah kurban, sesuai dengan kemampuan masing-masing di manapun  berada. Ibadah kurban yang dilaksanakan kaum muslimin, sebagai salah satu upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Deskripsi kehidupan kaum muslimin ini, menggambarkan interelasi kuat antara orang yang menunaikan ibadah haji, dengan saudara-saudaranya yang tidak pergi ke Baitullah. Oleh karena itu, kita melaksanakan salat Idul Adha dan ibadah kurban yang pada hakikatnya sebagai bentuk kesadaran memenuhi perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.

Kaum muslimin sidang jama’ah Idil Adha rahimakumullah,

Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah penting dalam ajaran Islam. Ibadah ini memiliki fondasi kuat dan memiliki akar sejarah panjang dalam tradisi rasul-rasul terdahulu. Ajaran kurban dan praktiknya telah ditunjukkan secara sinergik oleh para nabi dan rasul hingga Nabi Muhammad SAW.

Nabi Ibrahim Alaihissalam dikenal sebagai peletak pertama ibadah ini. Peristiwa penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim AS terhadap anaknya, Nabi Isma’il AS merupakan dasar bagi adanya ibadah kurban. Nabi Ibrahim AS dengan penuh iman dan keikhlasan bersedia  menyembelih anak kesayangannya, Ismail, hanya semata-mata untuk memenuhi perintah Allah SWT. Peristiwa yang mengharukan ini, dilukiskan dengan indah oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah As-Shaffat ayat 102:

 “Tatkala anak itu sampai umurnya dan sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu. la menjawab, wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ini adalah pembelajaran ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah. Di kemudian hari, pengorbanan ini menjadi anjuran bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban, setiap tanggal 10 Dzulhijah dan pada hari tasyrik, yaitu  11, 12, dan 13 Dzulhijjah. 

Deskripsi historis ini menggambarkan bahwa, keteguhan hati, keyakinan akan kebenaran perintah Allah, keikhlasan, ketaatan, dan kesabaran adalah esensi yang melekat dari ibadah Qurban. Nilai-nilai ini telah diimplementasikan dengan baik oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS dalam peristiwa yang mengharukan itu. Kesanggupan Nabi Ibrahim AS menyembelih anak kandungnya sendiri Nabi Ismail AS, bukan semata-mata didorong oleh perasaan taat setia yang membabi buta (taqlid buta), tetapi meyakini bahwa perintah Allah SWT itu harus dipatuhi.

Bahkan, Allah SWT memberi perintah seperti itu sebagai peringatan kepada umat yang akan datang, bahwa adakah mereka sanggup mengorbankan diri, keluarga dan harta benda yang disayangi demi menegakkan perintah Allah SWT. Dan adakah mereka juga sanggup memikul amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi?.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd

Kaum muslimin yang berbahagia

Hari Raya Idul Adha adalah sejarah manusia memenangkan ego  dan kemelekatan.  Hari dimana kita diingatkan sebuah momentum untuk menyembelih ego dalam diri sendiri. Hewan ternak (kurban) sesungguhnya tamsil dari dominasi hawa nafsu dan syahwat kita.  Tamsil segala kesesatan dan keburukan, kebodohan, kedengkian, ketakabburan, buruk sangka, kecintaan pada hal-hal material dan aspek lainnya, yang melekat pada diri kita.

Ibrahim Alaihissalam dan Ismail Alaihissalam telah mencontohkan itu kepada kita. Betapa kecintaan seorang ayah terhadap anak, harus dikorbankan sebagai wujud kecintaan kepada Allah. Dan contoh bakti seorang anak kepada orang tuanya, sehingga tak gentar meski harus berhadapan ujung pedang yang tajam yang akan memotong lehernya sendiri.

Ketaatan Ismail pada Ibrahim, menjadi contoh tentang ketaatan dan bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Islam menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai sebuah kewajiban yang sangat besar.  

Betapa kedudukan orang tua sangat agung dalam Islam, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkannya sebagai salah satu amalan yang paling utama. Lalu, sudahkah kita berbakti kepada kedua orang tua?

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Lagi-lagi beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu pun bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Maka beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yahya bin Katsir menceritakan, “Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Amir radhiyallahu ‘anhuma datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbaiat kepada beliau dan masuk Islam. Ketika itu, beliau bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap istrimu yang kamu tuduh ini dan itu?’ Keduanya menjawab, ‘Kami tinggalkan dia bersama keluarganya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya mereka telah diampuni.’

‘Mengapa wahai Rasulullah?’ tanya mereka. Beliau menjawab, ‘Karena dia telah berbuat baik kepada ibunya.’ Kemudian beliau melanjutkan, ‘Dia memiliki ibu yang sangat tua. Suatu ketika ada orang yang berseru, ‘Hai, ada musuh yang hendak memporak-porandakan kalian!’ Lalu ia menggendong ibunya yang telah tua itu. Bila kelelahan, ia turunkan ibunya kemudian ia gendong ibunya di depan. Ia taruh telapak kaki ibunya di atas telapak kakinya agar ibunya tidak terkena panas. Begitu seterusnya hingga akhirnya mereka selamat dari sergapan musuh.”

Hadirin, renungkanlah, bila kita simak kisah di atas lebih mendalam, kita akan mengetahui bahwa berbakti kepada orang tua—terutama ibu—menjadi sebab kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Maka selayaknya kita berusaha agar bisa meraih kebahagiaan itu selagi orang tua kita masih hidup. Kemudian bandingkanlah keadaan di zaman kita dengan kisah di atas. Alangkah jauh perbedaannya. Apakah yang memberatkan kita untuk berbakti kepadanya sebagaimana yang telah dilakukan oleh salafush shalih? Apa yang menghalangi kita untuk berbakti kepadanya jika hal tersebut akan membuat kita bahagia dan menjadi orang yang kaya kebaikan dan tenteram hatinya?

Sungguh merugi jika kita mengetahui dekatnya surga dengan berbakti kepada kedua orang tua, tetapi kita malah melalaikannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau ingin maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah ia.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam hadits lain beliau juga bersabda, “Celaka, celaka, celaka!” Ada yang bertanya,”Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati salah satu atau kedua orang tuanya telah berusia lanjut, tetapi tidak membuatnya masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim)

Lantas bagaimana jika salah satu dari kedua orang tua kita telah tiada? Terkadang sebagian kita beranggapan bahwa kewajiban berbakti kepada kedua orang tua telah usai ketika orang tua telah wafat. Jika memang demikian, alangkah bakhilnya diri kita. Alangkah singkatnya bakti kita kepada orang tua yang telah mengasuh kita dengan penuh kasih sayang, yang telah mengorbankan siang dan malamnya untuk kebahagiaan sang anak. Seseorang yang telah mengucurkan banyak air mata dan keringat untuk kebaikan sang anak. Lantas, apakah balas budi kepada mereka akan berakhir seiring berakhirnya  kehidupan mereka?

Hadirin dan hadirat, ketahuilah, bahwa saat setelah wafat adalah saat di mana kedua orang tua paling membutuhkan bakti anak-anaknya, yaitu ketika mereka telah memasuki alam barzah. Mereka sangat membutuhkan doa yang baik dan permohonan ampun melalui seorang anak untuk mengangkat kedua telapak tangannya kepada Allah Ta’ala.

Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah masih tersisa sesuatu sebagai baktiku kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?” Beliau bersabda, “Ya, engkau mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji keduanya, memuliakan teman keduanya, dan silaturahmi yang tidak tersambung kecuali dengan keduanya.” (HR. Al-Hakim).

Begitulah, bakti seorang anak kepada kedua orang tua senantiasa menjadi utang manusia selama ruh masih berada pada jasadnya, selama jantung masih berdetak, selama nadi masih berdenyut, dan selama napas masih berembus. Oleh karena itu, sangat keliru jika ada orang yang beranggapan bahwa baktinya telah usai ketika orang tua telah wafat. Bakti seorang anak kepada orang tua senantiasa menjadi hutang yang harus ditunaikan sampai ia bertemu dengan Allah Ta’ala. Mereka sangat membutuhkan doa yang tulus serta permohonan ampun sehingga mereka mendapatkan limpahan rahmat dan ampunan dari Allah karenanya.

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Lantas ia bertanya, ‘Wahai Rabb, mengapa aku mendapatkan ini?’ Allah menjawab, ‘Karena permohonan ampunan anakmu untukmu.’” (HR. Ahmad)

Demikianlah, khutbah Idul Adha yang bisa disampaikan pada hari ini. Lebih kurangnya mohon dimaafkan.