Oleh: Ruslan Sangadji – Kaidah.ID
DI SEBUAH WARUNG KOPI, para pendukung calon gubernur dan wakil gubernur berkumpul, menyeruput kopi dan menatap layar ponsel. Aroma kopi yang harusnya menghangatkan suasana, berubah jadi saksi bisu atas obrolan-obrolan penuh amarah dan sindiran.
Alih-alih mendiskusikan visi besar, atau program unggulan sang kandidat, mereka justru sibuk mencari celah, menyerang lawan, mengorek-ngorek kelemahan yang bisa dijadikan peluru.
Sebuah ironi. Pilkada seharusnya jadi panggung adu gagasan, tempat kandidat menunjukkan arah baru untuk membawa Sulawesi Tengah keluar dari berbagai persoalan. Namun, kenyataannya? Para pendukung lebih sibuk menggali lubang daripada membangun fondasi.
“Mereka ini, cuma cari sensasi. Lihat saja, program apa yang mereka tawarkan? Nol besar!”. Teman saya mengangguk setuju, tapi bukan untuk menawarkan diskusi serius. Di layar ponselnya, tangannya lincah mengetik sindiran. “Biar viral,” katanya sambil tersenyum licik.
Panggung politik yang seharusnya penuh warna ide dan solusi, berubah menjadi arena saling jatuh menjatuhkan. Di grup WhatsApp, di media sosial, di pojok-pojok obrolan warga, sindir-menyindir sudah menjadi bahasa sehari-hari. Bukan program kerja yang dibicarakan, melainkan gosip tentang kelemahan, bahkan serangan pribadi terhadap kandidat lawan.
Para pendukung seakan lupa pada tugas mereka. Mereka bukanlah pelontar kata-kata tajam, tapi seharusnya menjadi penyampai gagasan besar, yang dibawa oleh calon yang mereka dukung. Namun, entah bagaimana, peran itu memudar, tergantikan oleh naluri menyerang yang tak terkendali.
Seperti halnya burung elang yang membidik mangsanya dari langit, mereka terus mencari-cari kesalahan lawan, berharap ada momen lemah yang bisa dilihat oleh publik. Kritik membangun hilang ditelan amarah. Mereka lupa, bahwa kemenangan bukanlah soal siapa yang paling lihai dalam menghancurkan lawan, melainkan siapa yang paling mampu menawarkan harapan baru.
Seorang pengunjung yang duduk sendiri menggeleng-gelengkan kepala. Ia pernah merasakan masa ketika politik adalah soal mimpi besar, tentang perubahan nyata yang dirasakan langsung oleh rakyat.
Kini, baginya, politik telah berubah menjadi permainan yang licik dan kotor, pertempuran bukan lagi soal ide, tetapi soal bagaimana mengungguli lawan melalui taktik yang merusak.
“Mereka ini,” ucapnya pelan, “mereka terlalu sibuk mencari kesalahan orang lain, padahal yang kita butuhkan adalah solusi, bukan drama”.
Sayangnya, suara bijak itu jarang didengar. Semakin dekat ke hari pemilihan, semakin intens pertempuran di ruang maya. Para pendukung terus mengisi lini masa dengan ejekan, tuduhan, hingga hoaks yang sengaja disebar, untuk memperburuk citra lawan.
Tanpa disadari, mereka menenggelamkan pesan-pesan yang seharusnya lebih penting – pesan tentang masa depan penuh harapan yang lebih baik.
Ada semacam hasrat yang tak terucapkan, sebuah obsesi untuk menang dengan cara apa pun. Dan untuk mereka, kemenangan tak sekadar berarti mendapatkan kekuasaan bagi sang kandidat, tetapi juga kepuasan pribadi, bahwa mereka berhasil membuat lawan tampak lebih buruk di mata publik.
Namun, di luar sana, rakyat melihat dengan mata berbeda. Mereka yang sudah jenuh dengan drama politik, berharap kampanye ini menjadi ruang untuk mendengarkan ide-ide segar, bukan medan pertempuran penuh kebencian.
Mereka ingin tahu, apa yang bisa dilakukan para calon untuk membawa perubahan nyata, bukan sekadar bagaimana cara menjatuhkan lawan.
Pertanyaan terbesar yang tersisa adalah: kapan para pendukung ini akan sadar, bahwa pertempuran yang mereka pilih bukanlah yang diinginkan oleh rakyat? Kapan mereka akan kembali fokus pada kampanye yang seharusnya, mengedepankan visi dan misi, membangun harapan daripada meruntuhkan martabat?
Dalam setiap sindiran yang mereka lontarkan, mereka lupa bahwa rakyat bukanlah penonton yang buta. Rakyat mengamati, menilai, dan pada akhirnya mereka yang akan menentukan. (*)
Tinggalkan Balasan