SEKITAR tiga jam menempuh perjalanan dari Kota Palu, akhirnya kami tiba di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso. Saya dengan beberapa teman memang punya agenda bersama masyarakat setempat. Sekitar dua jam lamanya kami berdiskusi hingga perut telah berteriak minta diisi. Sehabis makan siang, kamu mencari tempat penginapan yang tak jauh tempatnya dari kantor desa.
Penginapan itu terlihat sangat asri, halamannya luas dan bangunan yang terbuat dari papan dan sebagian beton. Seorang perempuan pun datang menghampiri sembari melemparkan senyum kea rah kami. Ia menyerahkan kunci kamar kepada kami, menyiapkan cangkir dan sebuah termos untuk membuat teh atau kopi.
Karena tak tahan hawa yang sangat dingin pada siang menjelang sore itu, saya tak sempat lagi bertanya siapa nama perempuan yang bekerja sebagai resepsionis di penginapan itu. Saking dinginnya, saya sampai menggigil, padahal angka di jam tangan saya masih menunjukan angka tiga.
“Di sini dingin kak. Dinginnya sampai menusuk tulang,” kata perempuan yang saya taksir usianya sekitar 23 tahun itu.
Tak menunggu lama, saya dan teman-teman pun bergegas masuk kamar, menyimpan tas dan membuka isinya, mengambil kupluk dan kaos tangan biar hawa dingin bisa dibendung. Syukur di kamar juga telah tersedia selimut tebal yang sudah disiapkan pihak pengelola penginapan untuk tamu.
“Nanti selimutnya dipakai kak, karena kalau malam akan lebih dingin lagi,” kata perempuan itu.
Di luar, kabut mulai menyelimuti siang. Teman-teman saya sudah terlihat seperti naga saat menghembuskan nafasnya, ada asap tapi tidak ada apinya. Taka da jalan lain untuk mengusir dingin di Watutau, kecuali dengan menyeruput kopi atau tee panas.
Watutau memang dingin di malam itu. Lanus, salah seorang teman kami yang telah lama tinggal di desa itu mengatakan, Watutau memang sangat dingin, apalagi kalau di musim hujan seperti sekarang.
“Kalau saya sudah terbiasa, tapi jika teman-teman yang masih baru atau pertama kali ke sini bisa sangat terasa sampai ke tulang-tulang dinginnya,” kata Lanus.
Malam telah pergi, tapi dingin masih terus menyelimuti kami. Namun kami harus dapat melawannya. Lanus mengajak kami mengunjungi tempat-tempat menarik di Desa Watutau. Kami pun menyusuri jalan-jalan sempit dan juga berlubang menuju tempat yang dimaksud.
Beberapa kali kami harus menghentikan kendaraan supaya bisa mengambil momen-momen indah untuk menghiasi laman media sosial. Semua itu agar kelak kami diingatkan pernah sampai di Watutau.
“Stop… stop… stop… saya mau foto-foto sebentar,” kata Humairah, salah seorang teman yang bersama kami hari itu.
Kami masygul, karena tidak sedikit keindahan yang dianugerahkan Ilahi kepada kita di bumi ini, maka ada baiknya kita perlu menjaga dan bersyukur bisa menikmati keindahan yang mungkin sebagian orang belum tentu memiliki kesempatan sama ,untuk menikmati keindahan panorama alam Watutau.
Tak lama, kami tiba di lokasi hutan pinus yang masyarakat setempat mulai memanfaatkan untuk berwisata dan menyadap getah pinus itu. Kami sangat beruntung saat itu, bisa bertemu dengan salah seorang penyadap getah pinus sekaligus menambah koleksi foto kami.
Puas menikmati pemandangan tegakan pinus, kami kembali beranjak melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih tinggi lagi, untuk melihat landscape Watutau sembari menunggu matahari terbenam. Lagi-lagi sepanjang jalan masih melihat jejeran tegakan pohon pinus. Sungguh memanjakan mata.
Oh iya, hampir lupa, Desa Watutau berada pada ketinggian 1.300 meter dari permukaan laut, memiliki luas 255,83 Kilometer persegi dan merupakan desa tua di Lembah Napu. Penduduk di desa ini tercatat sebanyak 1.621 jiwa atau 387 rumah tangga. *
Tinggalkan Balasan