SENIN SIANG YANG PANAS, Ketika sedang menyeruput kopi di salah satu warung kopi di Palu, Salihudin datang menyapa. Ia membawa sebuah buku yang masih terbungkus plastik dari penerbit.

Buku tersebut berjudul: Menata Masa Depan Membangun Peradaban. Di buku itu, Salihudin yang kita kenal dengan nama Saleh Awal, menuangkan gagasannya. Dengan jari-jarinya yang lincah, ia mulai merangkai kata, membentuk ide-ide menjadi tulisan yang tajam dan penuh makna.

Salihudin bukan sekadar penulis produktif. Aktivis HMI (Pengurus MW KAHMI Sulawesi Tengah) itu adalah seorang pengamat, seorang pemikir, yang selalu memandang kehidupan, dengan kedalaman yang tak banyak orang miliki.

Buku terbarunya itu, bukan sekadar kumpulan tulisan biasa di media massa di Palu. Ini adalah potret perjalanan intelektual seorang pria yang telah lama bergulat dengan realitas Sulawesi Tengah, nasional, bahkan global.

Setiap judul di dalamnya adalah hasil perenungan panjang, analisis tajam, dan kebijaksanaan yang dituangkan dalam bentuk narasi yang begitu hidup.

Lahir dari rahim Pantai Barat Donggala yang penuh dinamika, tulisan Salihuddin telah mewarnai berbagai media massa di kota ini selama bertahun-tahun.

Tulisannya yang mengalir dalam bahasa yang halus namun tegas, sering kali menggugah pembaca untuk merenung lebih dalam, memahami esensi dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.

“Saya menulis bukan hanya untuk dibaca,” katanya suatu hari dalam sebuah wawancara singkat. “Saya menulis untuk mengajak orang berpikir,” kata Tenaga Ahli DPR RI ini.

Tak salah jika dalam deretan karya sebelumnya, ia telah meninggalkan jejak yang mendalam. Biografi Alm. Prof. H. Aminuddin Ponulele, mantan Rektor Untad dan Gubernur Sulawesi Tengah, adalah salah satu karya yang pernah ia tulis pada 2005. Ia berhasil menangkap sisi kemanusiaan dari seorang tokoh besar, membawanya lebih dekat ke hati pembaca.

Kemudian ada “Kebijakan Publik, Potret Desentralisasi di Era Otonomi Daerah (2007), yang menawarkan pandangan kritis terhadap perubahan yang dialami negeri ini di era otonomi. Dan jangan lupakan “Menjadi Bangsa Nomor 1 di Asia, Refleksi 10 Tahun Reformasi (2008)”, yang menjadi refleksi dari perjalanan bangsa pasca reformasi.

Namun, kali ini, melalui “Menata Masa Depan Membangun Peradaban”, Salihudin menawarkan sesuatu yang berbeda. Di tengah ketidakpastian zaman, ia mengajak kita untuk kembali menatap masa depan dengan lebih bijak.

“Membangun peradaban adalah tugas kita semua,” ucapnya.

Setiap tulisannya, yang sebelumnya tersebar di berbagai media massa, kini disusun rapi menjadi sebuah narasi besar yang menyentuh banyak aspek kehidupan—lokal, nasional, hingga global.

Buku setebal 186 halaman ini, begitu sarat makna. Salihudin, yang juga suami dari Inge Mogalestari, berhasil menangkap berbagai peristiwa penting, dan menganalisisnya dengan sudut pandang yang sering kali tak terpikirkan oleh kebanyakan orang.

Ia menggabungkan intuisi dan pengetahuan, menghasilkan tulisan yang tak hanya memberikan informasi, tapi juga menantang pikiran pembaca.

Sebuah ironi mungkin, buku yang begitu kaya akan wawasan ini hanya dicetak terbatas – sebanyak 50 eksemplar saja. “Saya lebih suka pembaca yang benar-benar ingin tahu, yang siap terlibat dengan pemikiran saya,” katanya sambil tersenyum.

Dengan harga Rp100 ribu per eksemplar, buku ini terjual cepat. Diborong oleh anggota KAHMI Sulteng. Namun, bagi mereka yang tak sempat mendapatkan cetakan fisik, PT Adab Indonesia Group, Indramayu, Jawa Barat, menyediakan penjualan versi daring.

Ada sesuatu yang unik dalam karya Salihudin kali ini. Setiap tulisan dalam buku ini seolah menjadi jendela bagi kita, untuk melihat dunia dari ketinggian – bukan hanya memahami apa yang terlihat di permukaan, tapi juga menyelami kedalaman maknanya.

Membangun peradaban, seperti yang ia sampaikan, bukanlah pekerjaan mudah. Itu memerlukan keberanian, pengetahuan, dan yang paling penting, kebijaksanaan.

Dalam sebuah kesempatan, ia pernah berkata: “Menulis adalah cara saya merawat ingatan kolektif. Karena suatu hari, ketika waktu berlalu dan generasi baru datang, yang tersisa hanyalah kata-kata yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan”.

Buku ini adalah salah satu bentuk dari usaha itu. Bukan sekadar kata-kata di atas kertas, tetapi jalinan pemikiran yang saling terkait, membentuk fondasi bagi masa depan yang lebih baik.

Selamat membaca dan merenungi setiap tulisan, dalam Menata Masa Depan Membangun Peradaban. (*)

Editor: Ruslan Sangadji