PALU, KAIDAH.ID – Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, baru saja mengeluarkan evaluasi atas hasil penelitian tentang tambang dan industri nikel di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah (Sulteng) 2023.
Hasil evaluasi yang dikirimkan kepada kaidah.id pada 31 Januari 2024 itu, memuat ringkasan eksekutif, yang mengungkap banyak hal sampai pada rekomendasi kepada pemerintah untuk segera mengambil Langkah-langkah penting terkait karut marut pertambangan dan industri nikel di Sulteng.
Karena laporan yang cukup panjang, sehingga Redaksi kaidah.id akan menerbitkannya menjadi beberapa artikel secara terpisah dengan judul yang berbeda, dan ini merupakan artikel yang pertama.
Direktur Eksekutif YTM, Richard Fernandez Labiro menjelaskan, Sulteng merupakan provinsi utama penambangan bijih nikel dan industri pengolahan nikel di Indonesia. Pada 2023, total luas areal izin pertambangan nikel di daerah ini mencapai 299.185 hektare, yang dikuasai oleh 121 badan usaha, dan tercatat ada 53 perusahaan memegang izin usaha industri pengolahan logam berbasis nikel di Sulteng.
Pada 2023, industri pengolahan nikel di Sulteng memiliki kapasitas produksi terpasang mencapai 668 ribu ton kandungan logam nikel per tahun. Dari industri pengolahan itu, Perusahaan mempekerjakan lebih dari 100.000 orang.
“Sayangnya, standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang buruk, menjadi masalah utama pertambangan dan industri pengolahan nikel di Sulteng,” kata Richard Fernandez dalam ringkasan eksekutifnya.
Bukti standar K3 yang buruk itu, YTM mengungkap sepanjang tahun 2023, terjadi 10 kasus terkait keselamatan di tempat kerja yang menewaskan 36 pekerja (10 pekerja di antaranya adalah TKA asal Tiongkok), dan menciderai 47 buruh.
“YTM berpendapat, pemerintah harus memaksa perusahaan-perusahaan, untuk bekerja sama dengan para pekerja dan serikat-serikat buruh untuk melakukan analisis bahaya dan penilaian risiko di setiap divisi,” katanya.
Kerja sama itu juga, kata dia, untuk memastikan bahaya-bahaya di tempat kerja dapat teridentifikasi secara jelas dan mempertahankan standar kontrol risiko yang tinggi.
Di dalam ringkasan eksekutifnya, YTM menyebutkan, perusahaan smelter juga tidak boleh mengoperasikan tungku-tungku smelter melampaui usia operasinya, karena beresiko terjadi ledakan yang membahayakan pekerja.
DEFORESTASI
YTM juga melaporkan, ekspansi pertambangan dan industri pengolahan nikel tanpa kendali, menimbulkan masalah lingkungan yang luas. Deforestasi telah mengakibatkan banjir tahunan di Morowali dan Morowali Utara.
“Sepanjang 2023, terjadi empat peristiwa banjir yang berdampak terhadap sekira 2 ribu kepala keluarga di wilayah itu,” kata Richard.
Tidak hanya itu, perusahaan pengolahan nikel yang memiliki PLTU captive power sekira 5.000 Megawatt (MW), menjadi sumber polusi paling serius.
Oleh karena itu, YTM mendesak pemerintah, agar memaksa pelaku industri pengolahan nikel untuk segera melakukan program dekarbonisasi melalui transisi dari penggunaan PLTU Batubara menuju penggunaan pembangkit-pembangkit listrik yang ramah lingkungan di smelter-smelter nikel yang sedang beroperasi dengan timeline tertentu.
“Pemerintah tidak boleh lagi mengizinkan pembangunan smelter-smelter nikel baru dan PLTU batubara baru,” tegasnya.
Sedangkan terkait pelaku illegal mining, YTM berpendapat, pemerintah mesti melakukan penegakan hukum tegas terhadap para pelaku ilegal mining, dan meninjau kembali izin-izin penambangan di kawasan-kawasan hutan. (RTS*)
Tinggalkan Balasan