PALU, KAIDAH.ID – Ini tentang cuti para petahana. Matahari sore perlahan tenggelam di ufuk barat Kota Palu. Seiring dengan senja yang mengiringi hari, ketegangan mulai terasa di antara mereka, yang tengah bersiap menghadapi Pilkada Sulawesi Tengah.

Nasrun, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah, menyampaikan sebuah kabar yang mengundang atensi besar — khususnya bagi mereka yang duduk di puncak kekuasaan.

“Mulai hari ini, 12 September 2024, cuti para petahana sudah harus diajukan,” tegas Nasrun, dengan nada tegas, seperti ingin mengukir kata-kata itu di udara yang hangat.

Dia tidak sedang berbicara dengan sembarangan; ini adalah perintah yang diamanatkan oleh undang-undang, sebuah jalan yang harus ditempuh oleh mereka, yang ingin tetap mempertahankan kekuasaan tanpa mencederai keadilan.

Setiap langkah petahana kini diawasi. Di luar kantor Bawaslu Sulawesi Tengah, lalu lintas terus berjalan seperti biasa, tetapi bagi mereka yang berada di panggung politik, ini adalah momen genting.

Nasrun mengingatkan, cuti itu tidak berlaku hari ini juga, cuti itu mulai ketika masa kampanye dimulai pada 25 September. Namun, langkah pertama untuk menyiapkan surat cuti tersebut, harus diajukan sekarang.

Sebuah paradoks mulai terbentuk di benak para petahana: di satu sisi, mereka masih menjabat, masih memegang kendali atas wilayah yang mereka pimpin, tetapi di sisi lain, bayang-bayang Pilkada mulai mendekat dengan cepat.

Setiap keputusan yang mereka ambil dalam beberapa hari ke depan, bisa membawa dampak besar, bukan hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga bagi ribuan, bahkan jutaan, rakyat yang akan memilih.

Nasrun berdiri di garis depan pengawasan ini. Dengan raut wajah yang tenang, ia menambahkan, setelah penetapan, mereka masih menjabat. Tapi begitu kampanye dimulai pada 25 September 2024, sudah terhitung cuti di luar tanggungan negara.”

Ini bukan sekadar kata-kata di atas kertas. Ini adalah cermin dari prinsip keadilan yang harus ditegakkan di atas panggung politik yang sering kali berkelindan dengan intrik dan kekuasaan.

Tak jauh dari sana, Nisbah, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah, sedang mengikuti rapat koordinasi mengenai aturan kampanye di Jakarta.

Di balik wajah lelah penuh semangat, terbersit kesadaran akan betapa pentingnya setiap rapat ini. Di sana, dalam ruangan tertutup, para pengambil keputusan berdiskusi tentang teknis pelaksanaan, yang akan menentukan bagaimana kontestasi politik berjalan di provinsi ini.

“PKPU Kampanye akan mempedomani Undang-undang No. 10 Tahun 2016, Pasal 70 ayat (3), (4), (5). Sedangkan mekanisme pengajuan cuti diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah. Yang saya sampaikan terkait kampanye, adalah tetap menunggu PKPU,” kata Nisbah.

Sementara itu, Idham Kholik, Ketua Divisi Teknis KPU RI, menyuarakan hal yang lebih besar. Dalam ruang publik yang lebih luas, ia, bahwa tidak hanya kepala daerah yang harus mengambil cuti.

Bahkan, mereka yang menduduki jabatan menteri sekalipun, jika ingin maju di Pilkada, harus mengambil langkah yang sama. Mereka harus rela melepaskan kekuasaan mereka, setidaknya sementara, demi keadilan yang lebih besar.

Masa cuti para petahana, selama 60 hari, bukan hanya soal absen dari kantor. Ini adalah sebuah pengorbanan, sebuah masa yang menandai jeda antara kuasa dan ambisi pribadi, bahwa aturan main demokrasi harus menjadi panglima.

Pada akhirnya, pertarungan ini bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin daerah ini selama lima tahun ke depan. Ini tentang bagaimana keadilan dipertahankan, tentang bagaimana para pemimpin diuji tidak hanya oleh rakyatnya, tetapi juga oleh aturan yang mereka harus patuhi.

Bawaslu, KPU, dan seluruh mekanisme demokrasi tengah bekerja, memastikan setiap langkah mereka yang berlomba untuk duduk di kursi kekuasaan, adalah langkah yang jujur, adil, dan sesuai dengan amanat undang-undang.

Dan ketika 25 September tiba-hingga 23 November 2024, suara-suara dari rakyat akan mulai bergema, memilih siapa yang pantas untuk terus melangkah di jalan panjang pemerintahan.

Tapi sebelum itu, mereka yang sudah di puncak harus menanggalkan jubah kekuasaannya—setidaknya untuk sementara waktu. Seperti matahari yang kini tenggelam di balik cakrawala, kekuasaan mereka pun, untuk sejenak, akan pudar.

Tapi saat pagi kembali menyingsing, siapa yang akan kembali bersinar? Hanya waktu yang bisa menjawab. (*)

Editor: Ruslan Sangadji