Oleh: Fathorrahman Fadli
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) dan Dosen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pamulang

PEMBANGUNAN EKONOMI yang selama ini dijalankan, disadari atau tidak, telah membawa Indonesia ke jurang ketimpangan. Kekayaan negara yang melimpah hanya terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara sebagian besar rakyat masih bergelut dengan kemiskinan.

Fenomena ini adalah konsekuensi dari penerapan prinsip ekonomi kapitalis, bahwa kapital dan sumber daya yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan bersama, justru memperkaya sekelompok kecil elit ekonomi.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa sumber daya yang begitu besar tidak mampu menyejahterakan rakyat? Mengapa kas negara kosong di tengah melimpahnya kekayaan alam? Dan mengapa negara tampak lemah di hadapan kekuatan kapitalis yang terus menguras sumber dayanya?

Menjawab pertanyaan ini, sebenarnya tidak memerlukan teori yang rumit. Justru pemikiran yang terlalu teoritis, hanya memperkeruh masalah tanpa memberikan solusi konkret. Yang diperlukan adalah pemahaman sederhana, bahwa kegagalan ekonomi negara berakar pada buruknya manajemen pemerintahan.

Negara yang modern, harus dikelola dengan prinsip rasionalitas dalam setiap kebijakan publik. Keberhasilan kebijakan pemerintah, dapat diukur dari seberapa besar dampaknya dalam menyejahterakan rakyat. Tanpa pengelolaan yang baik, negara hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang gagal memenuhi hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak boleh bertindak serampangan, melainkan harus berlandaskan ilmu dan prinsip keadilan.

SOSIALITAS EKONOMI: SOLUSI DI TENGAH EKSTREMITAS, KAPITALISME DAN SOSIALISME

Sosialitas ekonomi, adalah konsep yang relatif baru dalam wacana ekonomi global. Ia lahir sebagai respons atas kegagalan dua sistem ekonomi ekstrem, yakni kapitalisme liberal dan sosialisme klasik.

Dalam sosialisme klasik, negara mengontrol penuh perekonomian, sering kali menekan inisiatif individu dan menciptakan ketimpangan sosial antara elit politik dan rakyat. Sementara itu, kapitalisme liberal mendorong persaingan tanpa batas, yang pada kenyataannya justru menimbulkan kesenjangan ekonomi yang tajam.

Sejarah telah membuktikan kegagalan keduanya. Amerika Serikat sebagai kiblat kapitalisme, telah menghadapi berbagai krisis sosial dan ekonomi yang menunjukkan keterbatasan sistem tersebut. Di sisi lain, Uni Soviet sebagai simbol sosialisme runtuh dalam waktu kurang dari satu abad, akibat kebijakan ekonomi yang tidak adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.

EKONOMI PANCASILA: JALAN TENGAH BERKELANJUTAN

Negara Pancasila menawarkan konsep ekonomi yang unik, yang berlandaskan prinsip keseimbangan dan keberlanjutan. Seperti yang dikatakan pakar hukum tata negara Dahlan Ranuwihardjo, Indonesia adalah bentuk negara ketiga—bukan negara teokrasi maupun sekuler. Negara Pancasila mengakui nilai ketuhanan sebagai landasan moral, namun tetap berpijak pada realitas sosial dan ekonomi yang dinamis.

Ekonomi Pancasila berorientasi pada keadilan sosial, dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Negara dapat mengadopsi kebijakan ekonomi berbasis sosialisme ketika ekonomi terlalu kapitalistik, dan sebaliknya, menerapkan pendekatan kapitalis ketika terjadi ketimpangan akibat dominasi sosialisme. Dengan demikian, ekonomi Pancasila bersifat adaptif dan fleksibel dalam menghadapi perubahan global.

Prinsip dasar ekonomi Pancasila menolak penumpukan kekayaan pada segelintir orang, karena hal itu hanya akan mempersempit akses bagi rakyat lain, untuk mencapai kesejahteraan. Di sisi lain, ekonomi Pancasila juga tidak membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan seperti dalam sistem sosialisme kuno, di mana kesejahteraan hanya menjadi hak eksklusif bagi segelintir elit politik.

PELAJARAN DARI POLANDIA

Kisah Polandia di era pemerintahan komunis menjadi contoh nyata dari kegagalan sistem ekonomi yang menekan kebebasan individu. Demokrasi rakyat yang diklaim oleh pemerintah ternyata hanya sekadar ilusi, di mana rakyat tidak memiliki kuasa atas kehidupannya sendiri.

Elit politik hidup dalam kemewahan, menempati kawasan eksklusif dengan fasilitas serba lengkap, sementara rakyat harus antre panjang untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Bahkan, pertumbuhan penduduk melambat akibat keterbatasan hunian dan kebutuhan hidup. Sistem ekonomi yang tidak adil ini akhirnya memicu gerakan perlawanan seperti “Solidarność” yang dipimpin Lech Wałęsa.

MEMBANGUN EKONOMI PANCASILA DI ERA PRABOWO SUBIANTO

Ke depan, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, penting bagi Indonesia untuk kembali kepada prinsip ekonomi Pancasila. Pemerintah harus mampu menyalurkan aspirasi rakyat melalui sistem representasi yang kuat, serta membangun ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan bersama.

Ekonomi Pancasila harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyat, sambil tetap mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, Indonesia dapat mencapai kesejahteraan yang merata, tanpa terjebak dalam ekstremitas sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme.

Pada akhirnya, keberhasilan ekonomi Indonesia, bergantung pada sejauh mana prinsip-prinsip Pancasila diterapkan secara konsisten dalam kebijakan ekonomi nasional. Hanya dengan pendekatan yang berkeadilan dan berkelanjutan, Indonesia dapat menjadi negara yang mandiri dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. (*)

Editor: Ruslan Sangadji