Artikel ini, merupakan kelanjutan dari catatan sebelumnya yang berjudul: Pembebasan Prof Aminuddin Ponulele CS: Drama Kelam Tuduhan PKI Gaya Baru. Tulisan kali ini, akan mengisahkan tentang pengalihan kekuasaan dari Gubernur AM. Tambunan kepada Brigjen Boenafri.

DI SETIAP SUDUT BUMI NUSANTARA, termasuk di Sulawesi Tengah, ada semangat yang tak pernah padam. Semangat itu membara dalam jiwa-jiwa yang tak kenal lelah, meski arus waktu menggiring mereka pada perjalanan panjang yang penuh dengan luka dan peluh.

Perjuangan merebut kembali takdir, dalam skema besar kekuasaan, menjadi alasan kuat untuk terus bergerak. Begitulah sejarah ditulis. Begitulah batang yang terendam, tak boleh dibiarkan membusuk. Ia harus bangkit, mencuat ke permukaan, menjadi fondasi untuk masa depan.

Era Gubernur AM Tambunan meninggalkan jejak yang tak terlupakan. Saat itu, putra-putri Sulawesi Tengah, seolah hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Mereka ada, tapi tak dianggap. Seperti batang yang terbenam dalam air, keberadaan mereka tertutupi, terpinggirkan.

Namun, sejarah tak pernah memberikan ruang bagi mereka yang berdiam diri. Sejarah selalu berpihak pada yang berjuang. Dan perjuangan itulah yang diusung kaum cerdik pandai Sulawesi Tengah.

“Apa pun alasannya, tokoh Sulawesi Tengah harus bangkit,” kata mendiang H. Nungci H. Ali ketika itu, penuh keyakinan.

“Kita tidak boleh menjadi tamu di negeri sendiri,” begitu istilah mendiang Theo Tumakaka.

Perjuangan itu perlahan membuahkan hasil, ketika pada 1978 Brigadir Jenderal Moenafri SH datang menggantikan AM Tambunan. Ia bukan sekadar seorang gubernur yang hadir untuk mengisi kekosongan pemerintahan.

Moenafri membawa sesuatu yang lebih besar: sebuah visi untuk membangkitkan batang yang terendam. Di pundaknya tergantung harapan ribuan orang, yang selama ini hanya bisa bermimpi tentang pengembalian kekuasaan ke tangan putra daerah.

Membangkitkan Batang Terendam, begitu visi itu dikenal. Bukan sekadar semboyan, ini adalah janji. Janji bahwa putra-putri Sulawesi Tengah tidak akan lagi tenggelam dalam kekuasaan.

Moenafri membuktikannya. Dari 17 jabatan Eselon II di pemerintahan, 13 di antaranya diberikan kepada putra daerah. Nama-nama lokal seperti Sallata, Simak, dan Sarapang yang selama ini mendominasi kekuasaan mulai pudar, digantikan oleh wajah-wajah asli dari tanah Sulawesi Tengah.

Tentu saja, langkah ini menimbulkan kegemparan, bukan hanya di daerah, tetapi juga di Jakarta.

Namun, tak semua suka dengan perubahan yang dibawa Moenafri. Di balik dukungan penuh dari tokoh-tokoh lokal, ada bayang-bayang intrik dari pusat. Jakarta, dengan segala kekuatannya, masih memegang kendali.

Bagi mereka, Moenafri telah terlalu jauh mengarahkan perahu kekuasaan ke arah yang tak diinginkan tokoh-tokoh Sulawesi Tengah.

Apalagi, ketika Moenafri menolak permintaan seorang anak pejabat tinggi ABRI (sekarang TNI) yang ingin berbisnis kayu hitam, komoditas berharga yang kala itu menjadi primadona Sulawesi Tengah. Bukan sambutan hangat yang didapatkan, melainkan penolakan tegas.

Penolakan ini, tanpa disadari Moenafri, menjadi pintu masuk bagi kepentingan pusat untuk mencopotnya. Isu penolakan ini menyebar cepat, seolah menjadi alasan yang sah untuk melengserkannya dari kursi kekuasaan.

Padahal, beberapa tokoh sejarah menyebutkan, Moenafri bukan hanya menjadi korban politik kayu hitam, tetapi juga karena gaya kepemimpinannya yang dinilai arogan dan kurang serius dalam menjalankan tugas.

Sejarah mencatat, Brigjen Moenafri hanya menjabat selama satu tahun, digantikan oleh Kolonel R.H. Eddy Djadjang Djadjatmadja.

Meski singkat, kepemimpinannya menjadi batu loncatan penting bagi tokoh-tokoh lokal. Ia membuka jalan, meski tak berumur panjang.

“Gubernur Moenafri membangunkan kami dari tidur panjang lima tahun,” kata Aminuddin Ponulele (Ketika itu), memberi penghormatan pada sang gubernur yang meski hanya sejenak, telah memberikan pengaruh besar bagi daerahnya.

Namun, sekuat apapun dukungan dari rakyat, sehebat apapun seorang pemimpin, kekuasaan pusat tetap menjadi bayang-bayang yang tak bisa dihindari.

Moenafri adalah salah satu dari mereka, yang terpaksa berhadapan dengan kenyataan pahit, bahwa di balik perjuangan daerah, selalu ada intrik dari ibu kota.

Meski Moenafri lengser, semangat yang ia nyalakan tak padam. Batang yang terendam telah mulai bangkit, meski terhempas kembali oleh arus kekuasaan.

Tapi bagi putra-putri Sulawesi Tengah, perjuangan itu tak pernah benar-benar selesai. Selalu ada harapan, selalu ada semangat untuk merebut kembali kedaulatan di negeri sendiri.

Begitulah sejarah Sulawesi Tengah tertulis, dengan tinta perjuangan yang terus mengalir, bahkan ketika batang terendam belum sepenuhnya bangkit. Sebab, di tanah ini, perjuangan tidak pernah mengenal kata akhir. (Bersambung)

Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud membuka luka lama atau menyinggung isu SARA, melainkan semata-mata sebagai pengingat akan sejarah penting di masa awal terbentuknya Sulawesi Tengah sebagai provinsi otonom.