PALU, KAIDAH.ID – Khalayak mengenal kopi Sulawesi, baru sebatas kopi Toraja atau yang diakrab dengan sebutan Queen of Coffee. Dikenal, karena memang sudah ada sejak dahulu. Orang mengenal kopi Toraja itu asalnya dari Kalosi dan Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan.
Padahal di Sulawesi Tengah juga ada kopi robusta dan arabika. Sulawesi Tengah punya kopi di Kulawi, Napu dan Dombu, Marawola Barat.
Di Desa Dombu, Marawola Barat misalnya, Himpunan Petani Kamanuru bilang, mereka menargetkan penanaman kopi arabika seluas 60 hektare. Kopi Dombu yang dikenal dengan nama Kamanuru itu, bahkan sudah dipasarkan hingga ke Jepang dan Dubai.
Dulu, orang-orang di Dombu menjual biji kopi di harga Rp17 ribu hingga Rp18 ribu per kilogram. Petani tak dapat apa-apa kecuali capek. Tetapi sekarang, mereka bisa menjual seharga Rp200 ribu hingga 280 ribu per kilogram, dan sudah memenuhi permintaan buyer dari Jepang dan Dubai.
“Proses pengolahan pascapanen Kopi Kamanuru secara natural, bisa menghasilkan harga yang tertinggi hingga Rp280 ribu per kilogram. Tapi memang butuh kesabaran yang tinggi untuk bisa mendapatkan kopi dengan kualitas baik dengan harga seperti itu,” kata Ketua Himpunan Petani Kamanuru, Awaluddin.
Kulawi di Kabupaten Sigi juga punya kopi. Orang mengenalnya kopi Kulawi. Daerah ini ini juga menjadi salah satu daerah pemasok kopi robusta di Palu. Lokasi tepatnya ada di Kecamatan Kulawi, Kulawi Selatan dan Pipikoro dan Kecamatan Lindu.
Budi daya kopi yang besar di Sulteng juga ada di Napu, Kabupaten Poso, karena berada di dataran tinggi. Dataran tinggi Napu sejak beberapa tahun terakhir, banyak dikembangkan tanaman kopi robusta, arabika dan kopi lampung. Memang, struktur tanah dan iklim di Napu sangat cocok untuk pengembangan tanaman kopi.
Dinas Perkebunan Sulteng 2018 menyebutkan, luas areal tanaman kopi robusta di daerah ini tercatat 10.884 hektare dengan jumlah produksi per tahunnya sekitar 7.674 ton.
Sigi merupakan sentral produksi terbesar rata-rata 5.581 ton per tahun. Luas areal tanaman kopi di Kabupaten Sigi saat ini 5.581 hektare.
Luas dan produksi kedua terbesar adalah Kabupaten Poso. Luas areal tanaman kopi di daerah itu 1.266 hektare dengan jumlah produksi 737 ton per tahun. Sementara areal tanaman kopi arabika hanya di Kabupaten Poso dengan luas areal saat ini baru sekitar 257 hektare dengan produksi 147 ton per tahun.
TORATIMA
Di Indonesia, para pencinta kopi sudah sangat mengenal kopi Luwak. Tapi jangan salah, di Kabupaten Sigi juga punya kopi yang mirip dengan Kopi Luwak, namanya Kopi Toratima, yang nyaris tidak terdeteksi radar wisatawan.
Kopi Toratima ini ada di Desa Porelea di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kopi Toratima ini kelas wahid, karena hasil fermentasi kelelawar, tikus, atau tupai. Tapi tidak sama dengan Kopi Luwak.
Proses terjadinya Kopi Toratima itu, hewan-hewan tersebut memakan biji kopi yang sudah matang, mengunyah dan menelan kulit kopi yang manis, lalu memuntahkan biji kopi dalam keadaan sudah terkelupas menjadi beras-kopi dan berwarna putih. Kopi ini tinggal disangrai dan ditumbuk. Aromanya lebih wangi dan rasa lebih enak dibanding kopi yang dipetik.
Di Porelea, kopi menjadi adalah komoditas tua. Jaraknya sekira 4 jam dari Kota Palu, dengan akses jalan yang terbatas, membuat Kopi Toratima kurang dikenal pihak luar. Sebelumnya Kopi Toratima ini tidak dijual, hanya konsumsi sendiri sebagai sajian bagi tamu adat atau tamu terhormat dan suguhan utama dalam upacara-upacara adat setempat.
Kopi Toratima inilah yang sedang disiapkan untuk jadi komoditas andalan Desa Porelea. Kopinya hanya akan diolah secara tradisional, tak tersentuh mesin. Dijemur di bawah matahari dan disangrai di atas wajan tanah liat. Saat proses menyangrai, wanginya bisa merebak ke seantero desa.
Porelea tidak hanya punya satu kopi andalan, ada dua kopi andalan. Satu lagi adalah Kopi Pipikoro. Aroma dan cita rasa serta gurih saat di seruput juga menjadi sebuah kebanggaan kopi Sulawesi Tengah.
Kini, Kopi Toratima dan Pipikiro sudah mulai dikenal. Penikmat kopi di Korea juga sudah mengenal Toratima. Mr Kim Sung Hyun, pernah membelinya di Palu, kemudian dikirim ke Korea dan ternyata mereka menaruh hati. Sayangnya, karena produksi yang terbatas, buyer Korea hanya bisa membelinya dalam jumlah kecil sekilo dua kilogram untuk konsumsi di rumah.
Ini menjadi tantangan bagi petani dan pencinta kopi, untuk dapat memikirkan budi daya dan perluasan pasar kopi Dombu, Kulawi, Napu dan Pipikoro. *
Tinggalkan Balasan