
Ny. Farida Ramadhan (53), salah seorang pengrajin lainnya di Desa Pandere itu menjelaskan, kayu ivo yang sudah dipukul-pukul itu, harus dicuci dan direbus kemudian dibungkus daun pisang, agar serat kayu menjadi halus. Setelah dibungkus lalu disimpan di tempat lembab selama tiga hari, atau tiga minggu. Setelah itu, kulit kayu dipukul lagi dengan ike.
“Kalau lembaran kulit kayu itu akan disatukan untuk membentuk lembaran kain,” kata Ny. Farida.
Memukul kayu ivo itu juga tidak sembarangan. Alat pemukul yang disebut ike menjadi sangat menentukan untuk menghasilkan kain yang bagus. Ike itu ada dua jenis sesuai fungsinya.
Ike yang pertama disebut pola, semacam palu yang terbuat dari pangkal batang enau. Pola ini digunakan sebagai alat pemukul pertama yang hasilnya direbus dan dibungkus daun pisang itu. Kayu hasil rebusan dan dibungkus daun pisang itu kemudian dipukul lagi dengan menggunakan ike parondo yang terbuat dari kayu awa atau lebanu yang keras dan tak mudah pecah. Itu berfungsi untuk membuat kain kayu yang ada lekuknya menjadi rata dan halus.
“Kain yang sudah jadi itu disebut sinjulo,” ujarnya.
Kain yang sudah jadi itu kemudian diberi pewarna alami seperti direndam di lumpur untuk menghasilkan warna coklat, dan bunga serta berbagai tumbuhan lain untuk menghasilkan warna lain dalam pembuatan motifnya.
Kain dari kayu ivo itu dapat dibuat berbagai jenis pakaian, baik yang dipakai pada berbagai upacara adat maupun kehidupan keseharian. Motif yang terdapat pada koleksi ini, seperti tanduk, tumpal, bunga, dan belah ketupat. Motif-motif ini mengandung makna keberanian, kebangsawanan, keramahtamahan, dan persatuan.
“Banyak jenis koleksi bagi masyarakat umum yang dapat dibuat seperti halili (blus), vevo (celana), siga (destar) dan vuya atau selimut,” sebut Ny. Farida.
Menurut Ny. Farida, kain dari kayu ivo yang diproduksi itu, telah dijual hingga ke luar negeri seperti Jepang, Belanda dan Jerman. Sedangkan di dalam negeri, biasa para pembeli dari Bali yang memesan atau datang sendiri membeli di tempatnya. Harganya juga tidak terlalu mahal, hanya berkisar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per lembar.
“Saya juga sudah beberapa kali ikut pameran di Museum Tekstil, Bentara Budaya, Museum Nasional dan di Bimasena,” ujarnya.
Ny. Farida Ramadhan mengaku tidak tau sejak kapan kain dari kayu itu mulai diproduksi di desanya. Ia hanya mendengar dari cerita-cerita turun temurun, bahwa nenek moyang mereka tempo dulu membuat kain dari kayu ivo untuk dipakai sehari-hari.
Dari dokumen di Museum Nasional Sulteng menyebutkan, pembuatan kain berbahan baku kayu di Sulteng telah ada sejak masa prasejarah, yaitu masa neolitikum. Pada masa itu manusia sudah hidup menetap, bercocok tanam, membuat perkakas dapur dan rumah tangga seperti periuk, tembikar, termasuk kain kulit kayu.
Itu semua dibuktikan, dengan ditemukannya alat pemukul kulit kayu atau ike di situs arkeologi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.
Tinggalkan Balasan