SORE ITU, laut bersiap menerima tamu-tamu setianya. Angin berhembus dari selatan, membawa aroma asin yang akrab, menelusup ke dalam hiruk-pikuk Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Di antara deru mesin dan gelisah para perantau yang hendak pulang, seorang anak muda berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, namun matanya menyimpan kerinduan yang sama dengan para pemudik di sekitarnya. Ia adalah Abcandra M. Akbar Supratman, Wakil Ketua MPR RI, yang memilih menapaki perjalanan mudik dengan cara yang berbeda, bersama rakyat, di atas kapal yang sama, menyeberangi lautan rindu. Sebelumnya ia menggunakan bus dari Jakarta ke Surabaya pada 15 Maret 2025 malam.

Kunjungannya ke pelabuhan bukan sekadar formalitas. Bukan pula hanya serangkaian seremonial peninjauan kesiapan arus mudik. Ia datang membawa empati, hendak merasakan denyut jantung perjalanan yang kerap diwarnai harap dan cemas.

“Tentunya, terima kasih kepada pemerintah yang telah menyiapkan segala alternatif, dari pengaturan lalu lintas hingga menyediakan moda transportasi yang nyaman dan aman,” ucapnya dalam nada yang tenang.

Ucapan itu bukan sekadar ungkapan apresiasi, tapi doa yang disematkan pada setiap langkah kaki para pemudik, yang sebentar lagi menyeberangi lautan, berharap tiba di pelukan keluarga yang menunggu berlebaran bersama.

Mudik bukan hanya perjalanan pulang. Ia adalah ritual tahunan yang melibatkan harapan, cinta, dan doa-doa yang tertambat di setiap jengkal perjalanan. Akbar — sapaan akrabnya — memahami betul itu.

Ia tahu, di balik deretan koper yang disusun rapi di dermaga, ada rindu yang mendesak-desak untuk segera bertemu. Maka, ia pun menegaskan: “Keselamatan warga adalah prioritas utama. Semua pihak harus bekerja keras agar setiap perjalanan kembali ke kampung halaman berjalan lancar dan selamat,” harap anggota DPD RI Dapil Sulawesi Tengah itu.

Dalam langkah-langkahnya yang mantap, Akbar menyapa para pemudik. Ada canda, ada tawa, tapi juga ada keheningan. Mungkin mereka sama-sama memikirkan rumah yang jauh di seberang sana, tempat ari-ari mereka ditanam.

Tempat di mana lebaran menjadi perayaan paling sakral, bukan karena kemewahannya, melainkan karena pertemuan yang mungkin telah lama dinanti.

Tidak hanya meninjau arus mudik lebaran 1446 Hijriyah, Akbar juga memutuskan untuk turut serta. Ia memilih naik KM Dharma Kencana V, kapal yang akan membawanya bersama ratusan pemudik dari Surabaya menuju Balikpapan, lalu berlanjut ke Donggala dan Palu. Ia juga akan memantau musibah banjir di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Sebuah perjalanan panjang menembus malam dan ombak, di mana setiap hembusan angin laut menjadi saksi dari perjalanan pulang yang sarat makna.

“Kami ingin merasakan apa yang dirasakan warga, termasuk para santri asal Palu dari sejumlah pondok pesantren Jawa Timur. Mohon doanya, semoga semua selamat sampai tujuan,” tuturnya, sederhana namun penuh keikhlasan.

Langit di pelabuhan mulai temaram ketika kapal itu akhirnya berlayar. Ombak-ombak kecil menari di bawahnya, seolah mengantar setiap doa yang dipanjatkan dari dalam kapal. Di sana, di antara deretan kursi dan tumpukan barang bawaan, senator muda itu duduk bersama rakyatnya. Menyatu, tanpa sekat, hendak menghapus batas antara pejabat dan rakyat.

Perjalanan itu bukan hanya tentang menempuh jarak. Ia adalah perjalanan menembus batas-batas kemanusiaan. Tentang bagaimana seorang pemimpin memilih untuk menyelami langsung apa yang dirasakan rakyatnya. Tentang meneguk rasa lelah yang sama, menanggung kerinduan yang serupa, dan pada akhirnya, merasakan kebahagiaan yang sama saat kaki menginjak tanah kelahiran.

Lebaran memang selalu menjadi cerita tentang pulang. Dan dalam perjalanan panjang itu, Akbar Supratman menulis kisahnya sendiri—tentang keberanian seorang pemimpin untuk berjalan seiring rakyatnya, menembus ombak dan gelombang, hanya demi merasakan kembali hangatnya pelukan keluarga di kampung halaman.

Sebab bagi Akbar Supratman, mudik bukan hanya soal perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan jiwa, yang menuntun setiap pejalan untuk kembali pada akar, kembali pada rumah, kembali pada cinta. (*)

Penulis: Ruslan Sangadji