PALU, KAIDAH.ID – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Tengah, HS Ali bin Muhammad Aljufri, menjelaskan bahwa arah kiblat dalam Islam memiliki kelonggaran tertentu, terutama bagi umat Islam yang tinggal jauh dari Ka’bah. Pernyataan ini menanggapi hasil penelitian sejumlah mahasiswa Universitas Alkhairaat (Unisa) Palu terkait arah kiblat sejumlah masjid di kota tersebut yang tidak presisi.

“Menghadap Ka’bah itu adalah syarat sah shalat, tapi ada dua tingkatan yang perlu dipahami umat, yaitu ‘Ainul Ka’bah dan Jihatul Ka’bah. Ini penting agar kita tidak salah kaprah,” tegas Habib Ali kepada Kaidah.ID, Rabu, 23 Juli 2025 siang.

Habib Ali menjelaskan, ‘Ainul Ka’bah adalah kewajiban menghadap langsung ke bangunan Ka’bah dan hanya berlaku bagi orang yang berada di dalam kawasan Masjidil Haram atau yang bisa melihat Ka’bah secara langsung.

Sementara itu, umat Islam yang tinggal jauh dari Makkah, seperti di Palu dan wilayah lain di Indonesia, cukup menghadap ke arah umum Ka’bah, atau yang disebut Jihatul Ka’bah.

“Kita ini berada ribuan kilometer dari Ka’bah. Maka menghadap arah umumnya sudah cukup, tidak harus derajat demi derajat. Shalat tetap sah selama dilakukan dengan niat dan usaha yang benar,” jelasnya.

ARAH KIBLAT PALU SEKITAR 295 DERAJAT

Secara teknis, arah kiblat dari Kota Palu berada pada kisaran 295 hingga 296 derajat dari utara sejati. Dengan bantuan kompas digital atau aplikasi penunjuk arah kiblat, arah ini dapat ditentukan dengan cukup akurat. Namun menurut Habib Ali, jika terjadi pergeseran beberapa derajat ke kiri atau ke kanan, hal itu tidak membatalkan shalat.

Ia menjelaskan, Ka’bah memiliki tinggi sekitar 13,1 meter, dengan sisi 12,86 meter x 11,03 meter. Dari jarak sekitar 8.000 kilometer seperti dari Palu ke Makkah, maka sudut toleransi arah kiblat menjadi cukup luas.

“Secara geometris, titik sasaran Ka’bah tidak harus mengenai tepat di tengah. Yang penting arah umumnya. Jadi kalau masjid kita bergeser sedikit, itu masih dalam batas toleransi,” ujarnya.

SYARIAT YANG BIJAK DAN TIDAK MEMBERATKAN

Habib Ali, yang juga merupakan pengasuh Majelis Asybaalul Khairaat, menekankan pentingnya memahami syariat secara proporsional dan tidak bersikap berlebihan. Ia mengutip sabda Rasulullah:

“Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Dulu para sahabat pernah shalat dalam gelap malam, tanpa tahu arah kiblat yang pasti. Setelah fajar, ternyata mereka keliru arah. Tapi Nabi tidak menyuruh mereka mengulang. Itu menunjukkan bahwa syariat datang untuk memudahkan, bukan menyulitkan,” jelas ujar HS Ali bin Muhammad Aljufri.

Di akhir penjelasannya, Ketua MUI Sulteng mengajak umat Islam, untuk tetap berhati-hati dan teliti dalam menentukan arah kiblat, namun tidak terjebak pada fanatisme teknis yang bisa mengganggu ukhuwah Islamiyah.

“Kiblat itu bukan hanya arah tubuh, tapi juga arah hati menuju Allah. Selama kita sudah berusaha mencari arah yang benar, insya Allah shalat kita diterima. Rahmat Allah itu lebih luas dari ketidaksempurnaan manusia,” tandasnya.

Editor: Ruslan Sangadji