Ini tentang Mayor Jenderal Eddy Sabara dan Drs. H. Galib Lasahido, sebagai lanjutan dari catatan sebelumnya yang berjudul: Bangkitnya Batang Terendam: Epos Perjuangan Daerah di Sulawesi Tengah.

DI SUATU MALAM di balik kediaman gubernur di Jalan Mohammad Hatta Palu Ketika itu, ada keresahan yang tak tampak di permukaan, bergelayut di benak Gubernur Sulawesi Tengah, Mayor Jenderal Eddy Sabara.

Tatapannya yang tajam menembus kegelapan malam, sementara pikirannya melayang jauh, memikirkan masa depan Sulawesi Tengah, yang telah banyak diterpa badai pergolakan politik di birokrasi.

Dalam kesenyapan rumah jabatan yang kini dikenal sebagai Siranindi, percakapan penting terjadi. Malam itu, sejarah Sulawesi Tengah mulai ditulis dengan tinta, yang tak terlihat oleh banyak orang.

Tahun 1980-an adalah masa ketika dominasi militer tak terbantahkan di berbagai sudut negeri. Di Sulawesi Tengah, para tokoh sipil dan cendekiawan lokal, berusaha keras memahat tempat bagi putra-putri terbaik daerah mereka dalam percaturan kekuasaan. Namun, kekuatan militer kerap menjadi tembok penghalang.

Eddy Sabara, jenderal berkumis tipis dengan mata besar yang menyiratkan kebijaksanaan dan kepekaan, tidak seperti pejabat militer lainnya. Di balik seragamnya, ia menyimpan impian besar – impian yang mungkin lebih sesuai bagi seorang pemimpin sipil.

“Apakah tidak ada anak daerah Sulawesi Tengah, yang mampu kita ajukan memegang jabatan gubernur?,” tanya Edy Sabara suatu malam kepada Kepala Bagian Protokolnya, Theo Tumakaka.

Theo, yang setia pada visi untuk membangkitkan “batang terendam” dari Sulawesi Tengah, menjawab dengan penuh keyakinan. Ia menyebut dua nama: Drs. H. Galib Lasahido, Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah, dan Abdul Aziz Lamadjido, SH seorang jaksa yang bertugas di Makassar.

Dua sosok yang ia pandang sebagai representasi terbaik, dari perjuangan panjang cerdik pandai lokal, yang selama bertahun-tahun, hanya bisa menjadi penonton di lapangan permainan mereka sendiri.

Percakapan ini, menandai titik balik dalam sejarah birokrasi Sulawesi Tengah. Sebuah keputusan besar segera diambil. Ketika Eddy Sabara mengantongi nama-nama itu, dan membawa mereka ke hadapan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, ia membawa harapan besar bagi masyarakat Sulawesi Tengah.

Keputusan yang ia dorong, akhirnya melahirkan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya: seorang putra Sulawesi Tengah memimpin daerahnya. Tetapi Galib Lasahido gamang. Ia ragu menerima amanah itu.

H. Rusdy Toana atau yang kita kenal dengan Tona Kodi, menjadi seorang tokoh Sulawesi Tengah yang meyakinkan Galib Lasahido.

Kedua orang ini dikenal sebagai sahabat dekat semasa di Yogyakarta. Tokoh Muhammadiyah inilah, yang terus memberi penguatan, agar, Galib Lasahido bisa menerima amanah itu, karena telah menjadi kesepakatan para tokoh pejuang dan cendekiawan Sulawesi Tengah. Menolak, berarti pengkhianatan.

Pada 19 Desember 1981, Drs. H. Galib Lasahido resmi dilantik sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Galib adalah Bupati Poso yang pernah berjasa, kini ia menjadi “Batang Terendam Pertama” yang muncul ke permukaan.

Tugas berat menantinya, tapi di pundaknya tersimpan harapan rakyat, yang telah lama mendambakan kepemimpinan lokal yang memahami betul denyut nadi daerah.

Galib Lasahido, tidak hanya menjadi simbol kemenangan lokalitas atas kekuasaan Jakarta, tetapi juga pembuktian bahwa Sulawesi Tengah mampu melahirkan pemimpin-pemimpin besar.

Ia membuka pintu bagi generasi pemimpin lokal lainnya, yang kemudian berturut-turut menduduki kursi gubernur, mematahkan stigma, bahwa daerah ini harus selalu dipimpin oleh orang dari pusat.

Dalam hembusan angin sejarah, nama-nama besar kemudian mengikuti jejak Galib Lasahido: Abdul Aziz Lamadjido, Bandjela Paliudju, Aminuddin Ponulele, Longki Djanggola, hingga Rusdy Mastura, masing-masing membawa warna mereka sendiri dalam membangun Sulawesi Tengah.

Keberhasilan Galib Lasahido memegang kekuasaan tertinggi di birokrasi provinsi ini, menandai momen kebangkitan Sulawesi Tengah dari masa kegelapan yang panjang.

Tidak lagi hanya sebagai “batang terendam” yang tersembunyi di bawah permukaan, putra-putra terbaik daerah ini tampil ke panggung kepemimpinan, mengembalikan martabat dan kedaulatan mereka di tanah kelahiran sendiri.

Eddy Sabara, sang jenderal berwawasan luas, bukan hanya sekadar gubernur yang singgah sementara di Sulawesi Tengah. Ia menjadi sosok yang membuka jalan, yang dengan kebijaksanaannya melahirkan pemimpin-pemimpin lokal.

Dan pada akhirnya, ia berhasil mematahkan dominasi kekuasaan yang selama ini mengerdilkan potensi daerah, membawa Sulawesi Tengah memasuki era baru kepemimpinan.

Kini, di setiap langkah sejarah, bayangan Eddy Sabara yang selalu tajam dan penuh visi akan tetap terpatri. Karena melalui dialog di malam yang hening itu, ia berhasil melahirkan pemimpin, membangkitkan “batang terendam” dan mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat Sulawesi Tengah. (BERSAMBUNG)